Etnomusikologi dan Kontribusinya


Oleh : Sularso

Studi musik itu perlu menekankan pada teks dan konteksnya. Teks merupakan kajian musik dari segi peraturan nada dan aspek estetisnya, sedangkan konteks adalah studi musik yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakanyat. (Shin Nakagawa :1999)

Pada dasarnya ranah etnomusikologi adalah bidang interdisipliner yang menggunakan perangkat dan pendekatan utama antropologi budaya atau etnologi dan musikologi. Orang dapat berangkat dari antropologi ataupun musikologi untuk menjadi etnomusikolog. Cara pendekatannya pun dapat bergeser dari etnologi ke musikologi atau sebaliknya.

Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu, penekanannya lebih pada riset (studi lapangan), dimana musik dipandang sebagai bagian dari budaya dan masyarakat adalah sasarannya. Metodelogi dan teknik lapangan yang digunakan pun sampai saat ini masih banyak berasal dari antropologi budaya dan hal ini memang tidak bisa dipungkiri, kenyataan ini terlihat dari penggunaan teori-teori yang digunakan yang hampir sebagian besar berasal dari ilmu-ilmu sosial humaniora, sedang teknik lapangannya  dipinjam dari antropologi.

Namun dalam perkembangannya, etnomusikologi sendiri tidak saja membatasi diri pada pendekatan etnologis dan atau musikologis terhadap fenomena musikal kultural, tetapi juga sering menggunakan pendekatan linguistik, semantik, psikologis, filsafat, historis, serta ilmu-ilmu humaniora yang lain, dan bahkan juga fisika, akustik, teknologi multimedia, dan lain-lain.

Dari awal sejarah perkembangannya di Indonesia studi etnomusikologi ini memang tergolong disiplin ilmu yang tergolong relative baru yang ini dimulai menjelang pertengahan abad ke-20 artinya dengan usianya yang begitu relatif muda maka ini sangat berpeluang untuk dikembangkan lebih jauh lagi, inipun awalnya dipelopori oleh peneliti-peneliti asing seperti Belanda, AS, Kanada, Jerman, Australia, yang kemudian menyusul Jepang, Prancis, Inggris. Beberapa nama yang dapat disebutkan antara lain, Jaap Kunst, Colin McPhee, Ernst Heins, Mantle Hood, Philip Yampolsky, Dieter Mack, Margaret J, Kartomi, Wim Van Janten, dan Fumiko Tamura.

Perkembangan sampai saat ini para Etnomusikolog pribumi Indonesia yang lahir, jumlahnya masih belum begitu banyak. Dari jumlah yang sedikit itu pun, tak lebih dari separuhnya yang benar-benar aktif beretnomusikolog, selebihnya adalah etnomusikolog ‘sambilan’, artinya sebagian besar dari mereka adalah birokrat (pimpinan perguruan tinggi, pembina kesenian), produser, seniman, guru, jurnalis,  pengusaha, atau berprofesi yang lain.

Kontribusi dan harapan

Dalam proses maupun tujuan pencapaian disiplin ilmu ini adalah hasil penelitian, maka penggalian data studi etnomusikologi lebih sarat dengan prasaran sosiologis, adat istiadat, agama, antropologi, dan sebagainya. Bahkan juga aspek-aspek politik, ekonomi, dan lain-lain masuk didalamnya. Tidak jarang etnomusikologi juga terlempar dari ilmunya sendiri yakni musikologi. Di sisi lain, etnomusikologi sering terjebak pada pendekatan-pendekatan yang konvensional dan normative, bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa etnomusikologi hanyalah ilmu teoretis yang mencoba menelaah etnosentrisme musik suatu kebudayaan masyarakat tertentu dalam pengertian yang secara substansial sangat terbatas. Etnomusikologi tampaknya seolah-olah ketinggalan satu langkah dari ilmu pengetahuan lainnya. Begitu pula hasil-hasil penelitian ilmiahnya lebih sering berkutat dan berhenti di perpustakaan atau arsip kampus sebagai tempat terminal akhirnya. Tidak jarang timbul sinisme diantara banyak orang, bahwa etnomusikologi berhenti ketika etnomusikolog telah mendapat gelar kesarjanaannya.

Kontroversi klasik etnomusikologi tampak dalam praktik lapangan melalui bentuk-bentuk metodologi, konsepsi-konsepsi, perangkat operasional, tata cara, rekayasa, dan terutama tujuan-tujuannya. Sayangnya, justru dalam keadaan “de facto ilmiah” inilah para etnomusikolog kita bernaung dan bekerja di dalamnya. R. Supanggah menyebutkan (1997), persoalan sulitnya mengembangkan disiplin ilmu ini adalah lataran  karena sumber daya manusianya.

Untuk penyelenggaraan pendidikan dan kajian keilmuan saja diperlukan pengajar dan peneliti dengan kualifikasi kesarjanaan, sedangkan untuk menghasilkan lulusan S-1, diperlukan pengajar dengan jenjang pendidikan di atas S-1 dimana semuanya tersebut sangat sulit didapatkan di Indonesia. Dampaknya adalah tidak banyaknya perguruan tinggi yang secara langsung mengelola pendidikan di bidang dan program etnomusikologi ini.

Di sisi lain, Indonesia yang memiliki banyak ragam jenis musik etnis yang sebagian besar pelaku seninya masih hidup dan masih menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakatnya. Akan tetapi, tidak jarang pula eksistensi mereka mulai terancam dengan perubahan dan perkembangan budaya akibat globalisasi, modernisasi, teknologi informasi, dan mobilitas manusia yang sangat luar biasa.

Dalam situasi seperti ini, kiranya peranan etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji musik dalam konteks sosial budayanya bisa membantu memberi laporan seakurat-akuratnya tentang kehidupan suatu jenis musik. Seperti halnya mengidentifikasikan masalah yang dihadapi musik dan masyarakatnya dan diharapkan dapat memberikan alternatif pemecahannya.

Demikian halnya dengan masyarakat Etnomusikologi saat ini yang dituntut harus mampu memberi wawasan luas tentang berbagai khazanah musik etnis kita. Dengan itu, etnomusikologi dapat menjadi jembatan antara masyarakat seni sebagai pelaku dan masyarakat sebagai penikmatnya, dan yang perlu disadari adalah bahwa musik dan masyarakat bukanlah objek penelitian semata, mereka merupakan bagian dari subjek yang aktif yang turut serta dalam mengembangkan masyarakatntya.***

Explore posts in the same categories: Etnomusikologi

Tinggalkan komentar