Agama dan Konflik Sosial


Manusia adalah makhluk beragama. Begitu kata para ilmuwan. Tetapi mereka mempunyai batasan- batasan tersendiri mengenai definisi term tersebut. Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh penganut- penganutnya yang berproses pada kekuatan- kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka. Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada 3 macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal- hal yang spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktik – praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal- hal yang bersifat supranatural. Sementara itu, Thomas F. O’ Deo mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana- sarana supra empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra empiris.
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya. Karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah- masalah yang non empiris. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa agama adalah ajaran, system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Selanjutnya dalam buku yang sama, dikatakan bahwa konflik yaitu percekcokan; perselisihan- prselisihan; pertentangan. Jika kata ini digabung dengan term sosial menjadi suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Menurut teori konflik , masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Jadi masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor : ekonomi, politik, sosial, bahkan agama.
B. Sumber Utama Konflik Sosial
Di dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 5 dijelaskan bahwa di dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma ilahi. Dengan kata lain, sebagai perusak, hal ini bisa berbentuk kerusuhan, demonstrasi dan sebagainya yang semuanya diakibatkan oleh tangan manusia. Jadi, yang menjadi sumber utama terjadi konflik adalah masyarakat atau pemeluk agama, bukan pada agama atau ajarannya.
Penganut agama adalah orang yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya akan melahirkan bentuk perbuatan baik dan buruk. Keyakinan ini bisa dimiliki oleh mereka, setelah melalui proses memahami dan mempelajari ajaran agama tersebut. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama akan mempunyai kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya sesuai dengan kemampuannya masing- masing. Akibat perbedaan pemahaman ini, konflik sudah tidak bisa dihindari. Misalnya konflik antar mazhab.
C. Faktor- faktor Konflik Sosial Ditinjau dari Aspek Agama
Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda” Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah menimbulkan peperangan. Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.
2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seprti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.
3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya, karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi sumber kebenaran.
4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (Q.S. 2 : 148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau berada di Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk mengikuti agamanya. Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya ” Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim. Jika di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.

LANDASAN HAM

DEKLARASI Universal Hak Asasi Manusia diproklamasikan 50 tahun yang lalu
dalam Sidang Umum PBB yang ketiga, pada 10 Desember 1948. Kejadian ini
pernah disebut peristiwa etis yang terpenting dalam abad ke-20.
Deklarasi HAM ini memang tidak merupakan pernyataan hak pertama dalam
sejarah. Pada zaman modern sebelumnya sudah terdapat sekurang-kurangnya
dua pernyataan hak lain yang terkenal, yaitu Bill of Rights yang
ditambah pada Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat dan
Declaration des droits de l’homme et du citoyen (Deklarasi tentang hak
manusia dan warga negara) yang dikeluarkan waktu Revolusi Perancis
(1789).

Pernyataan-pernyataan hak itu dimaksudkan akan berlaku sebatas suatu
negara, walaupun pada waktu itu sudah ada orang yang menyadari bahwa
dampaknya jauh lebih luas. Apa yang berlaku untuk para warga negara di
Amerika Serikat dan Perancis, mestinya berlaku juga bagi para warga dari
negara-negara lain. Sejarahwan terkemuka dari Inggris, Lord Acton,
menyebut deklarasi HAM dari Revolusi Perancis itu sebagai “sehelai
kertas yang lebih berbobot dari banyak perpustakaan dan lebih kuat dari
semua tentara Napoleon”. Akan tetapi, Deklarasi HAM dari 1948 adalah
pernyataan hak pertama dalam sejarah yang sungguh-sungguh universal
sifatnya dan berlaku untuk semua manusia di seluruh dunia.

Setiap pernyataan hak lahir dari konstelasi historis yang khas. Bill of
Rights di Amerika Serikat dilatarbelakangi langkah berani yang diambil
bangsa Amerika untuk melepaskan diri dari penguasaan Inggris dan
mendirikan suatu negara merdeka. Deklarasi hak dari Revolusi Perancis
timbul pada saat bangsa Perancis menumbangkan ancien regime (rezim lama,
maksudnya monarki feodal) dan membentuk republik, di mana kedaulatan
langsung dipegang oleh rakyat sendiri.

Deklarasi Universal HAM lahir dari pengalaman pahit selama Perang Dunia
II. Sesudah segala kelaliman dan kekejaman yang dilakukan oleh
nasionalsosialisme Jerman dan imperialisme Jepang, ketika sebagian besar
Eropa dan bagian dunia lainnya masih merupakan puing-puing, Perserikatan
Bangsa-Bangsa didirikan sebagai alat yang diharapkan dapat memenuhi
keinginan akan perdamaian tetap dan kukuh di segala kawasan dunia.
Menjadi keyakinan negara-negara dunia pada waktu itu bahwa tujuan ini
tidak mungkin tercapai tanpa menjamin terlaksananya hak-hak asasi semua
warga dunia. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Truman dari Amerika
Serikat pada Konferensi San Francisco (1945) yang membuahkan PBB:
“Piagam PBB melibatkan diri dalam mewujudkan dan menjaga hak-hak asasi
dan kebebasan-kebebasan fundamental. Jika kita tidak berhasil mencapai
tujuan-tujuan ini di mana-mana untuk semua pria dan wanita-tanpa
memandang ras, bahasa, atau agama-kita tidak dapat memiliki perdamaian
dan keamanan yang tetap”.

Pikiran di belakangnya adalah: seperti Amerika Serikat, Perancis, dan
beberapa negara lain memiliki sebuah daftar hak asasi yang resmi pada
saat mahapenting dalam sejarahnya. Demikian pula, kini dibutuhkan suatu
pernyataan hak asasi yang berlaku untuk seluruh dunia.
Kejahatan-kejahatan barbar selama Perang Dunia II — sampai terjadinya
genoside — tidak pernah boleh berlangsung lagi. Pengalaman pahit yang
cakupannya memang global itu menunjukkan bahwa hak-hak manusia harus
ditangani secara global pula.

Perumusan Deklarasi HAM 1948 ini bersifat yuridis dan penanganannya juga
terutama dipegang oleh para ahli hukum, tetapi landasannya berkonotasi
etis. Landasan itu tak lain adalah harkat dan martabat manusia. Hak-hak
manusia berakar dalam martabatnya. Dengan cara yang berbeda-beda semua
hak mengungkapkan satu hak dasar: setiap orang berhak untuk diakui dan
dihormati dalam martabatnya sebagai manusia. Dan karena martabat semua
manusia sama, hak-hak asasinya sama pula. Dengan demikian, Deklarasi HAM
sekaligus bernapaskan demokratis. Sulit untuk dibayangkan negara
nondemokratis yang menjamin dan menegakkan dengan konsekuen semua HAM
dari para warganya. Kejahatan melawan HAM selama Perang Dunia II justru
dilakukan oleh rezim-rezim yang diktatorial dan fasistis di Jerman dan
Jepang.

Explore posts in the same categories: Agama, sosiologi

Tinggalkan komentar